Begitu bel tanda berakhirnya ujian nasional berbunyi, Astuti (13) bergegas meninggalkan ruang ujian di SDN 3 Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/5). Ruang ujian yang digunakan Astuti berada di balik bukit yang pernah longsor dan merenggut nyawa gurunya beberapa tahun lalu.
”Alhamdulillah tadi bisa mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Cuma agak khawatir di ruangan. Takut kejatuhan atap,” tutur Astuti, yang harus berjalan kaki setengah jam dari rumah kakek-neneknya ke sekolah.
Plafon ruang kelas yang digunakan Astuti sepintas terlihat cukup baik kendati ada beberapa bagian yang bolong. Namun, ruangan itu hanya terpaut satu ruang dari ruang kelas VI yang atapnya ambrol beberapa bulan lalu. Dari dalam ruangan kelas VI, langit terlihat jelas di antara genteng yang tersisa. Sementara sebuah balok tambahan menyangga rangka atap agar tak ambruk.
Sekolah Dasar Negeri (SDN) 3 Megamendung berada satu kompleks dengan SDN 1 dan 2 Megamendung. Sekolah itu berada di badan bukit, di sekitar perkampungan dan beberapa vila. Lokasinya hanya 1-2 kilometer dari jalur utama Bogor-Cisarua yang merupakan pusat rekreasi di Kawasan Puncak.
Pada suatu siang di awal tahun 2007, hujan deras membuat bukit di belakang sekolah itu longsor dan menimbun ruang guru dan satu ruang kelas milik SDN 2. Bukit itu hanya berada beberapa meter dari tembok ruang kelas. Kemiringan bukit itu hampir mencapai 90 derajat.
Esih, guru SDN 3 Megamendung yang tinggal empat bulan lagi pensiun, meninggal dunia akibat tertimbun tanah longsor. Sementara seorang guru lainnya, Yanti Gina (47), yang juga sempat terkena longsor, bisa diselamatkan. Ketika itu, almarhumah Esih merupakan guru Astuti.
Setelah kejadian itu, hanya ada tiga ruang kelas yang bisa digunakan murid SDN 3 Megamendung. Sejak awal 2011, satu ruang sudah tak lagi bisa digunakan karena berbahaya. Akhirnya, siswa terpaksa bersekolah bergantian, kelas I, II, dan VI masuk pagi, sedangkan kelas III, IV, dan V masuk siang. Saat ujian nasional (UN), mereka mendapat pinjaman dua ruang kelas dari SDN 2 Megamendung.
”Kalau saat belajar cuaca mendung dan hujan, anak-anak kami minta belajar di selasar sekolah, bukan di ruang kelas karena berbahaya,” tutur Yanti Gina, guru kelas VI di SDN 3 Megamendung.
Bahkan, jika hujan deras, pihak sekolah memilih memulangkan siswa lebih cepat. ”Jadinya sekolah kami ini bubar kalau hujan. Misbar, kalau gerimis bubar,” tutur Gina.
Menurut Kepala SDN 3 Megamendung Muksin Setiawan, sekolah itu memiliki 305 siswa yang merupakan anak warga sekitar. Rata-rata orangtua mereka berpenghasilan menengah ke bawah. Sebanyak 47 siswa di antaranya mengikuti UN sekolah dasar pada tahun ini. ”Alhamdulillah, UN hari pertama semua masuk dan cuaca cerah. Saat belajar biasa, mereka bisa kami pulangkan kalau hujan, tetapi kalau ujian tidak bisa,” tutur Muksin.
Menurut Muksin, tak lama setelah ruang guru terkena tanah longsor, beberapa pejabat Kabupaten Bogor sempat berkunjung, begitu pula anggota DPRD. Mereka dijanjikan sekolah akan direlokasi tahun 2009. Tunggu punya tunggu, janji itu mundur, dari semula 2009, menjadi 2010, lalu menjadi 2011. ”Saya dengar mundur lagi menjadi 2012,” kata Muksin.
Tuntutan prestasi dan standardisasi pendidikan yang tak diikuti dengan fasilitas memadai tak hanya dirasakan siswa dan guru SDN 3 Megamendung. Berdasar data Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, pada 2011 setidaknya terdapat 1.665 ruang kelas di sekolah dasar di 40 kecamatan di Kabupaten Bogor yang kondisinya rusak ringan, sedang, dan berat.
Beberapa waktu lalu, Rony Kusmaya, Humas Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, menuturkan, keterbatasan anggaran menyebabkan dana yang tersedia tahun 2011 hanya cukup untuk memperbaiki 400 kelas yang rusak. Lalu bagaimana nasib siswa SDN 3 Megamendung?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar